Enam Tahun Setelah Mama Divonis Kanker Payudara
November 2010
Sampai detik ini saya tidak
akan pernah melupakan hari itu. Hari dimana ketakutan akan kehilangan seseorang
yang dicintai begitu dekat, persis di depan mata.
Ketika tiba di rumah
sepulangnya dari liputan selama tiga hari, jantung saya seperti enggan berdenyut.
Cemas. Takut. Segala perasaan buruk campur jadi satu. Saya melihat begitu
banyak alas kaki di depan rumah. Di teras tampak ibu-ibu yang sudah saya kenal.
Mereka teman-teman baik Mama. Selepas bersalaman dengan mereka, saya masuk ke
dalam dengan perasaan tak karuan.
Di dalam rumah, semua adik-adik
Mama ada di sana. Padahal jarang sekali hal tersebut bisa terjadi. Melihat saya
mereka tersenyum tipis, tapi jelas sekali tampak kesedihan yang luar biasa yang
saya rasakan.
Saya langsung menuju kamar
utama di rumah. Di tempat tidur itu Mama tergolek lemah. Saya seperti tidak
mengenalnya. Mama yang saya kenal adalah perempuan tangguh, lincah, tidak bisa
diam! Sedetik setelah melihatnya, saya akhirnya tidak mampu menampung air di
pelupuk mata. Tetesan demi tetesannya membasahi pipi yang kemudian mengering
tersapu baju Mama saat saya memeluknya.
Empat Hari Sebelumnya
Saya sebenarnya agak enggan
menerima tugas kantor ini. Liputan di luar negeri selama tiga hari. Padahal ini
pertama kalinya saya dapat kesempatan itu. Tapi Mama mengizinkan, walaupun saya
tahu dirinya ingin saya ada di dekatnya.
Setelah kemoterapi yang ketiga,
tubuh Mama tidak berdaya. Apapun yang dimakannya akan dimuntahkan. Semakin lama
dirinya semakin lemah dan mau tak mau harus diopname di rumah sakit.
Semakin Lemah
Saya dengar cerita dari kakak,
Mama tidak betah di rumah sakit. Ia berontak ingin pulang. Mama juga
berhalusinasi ada sosok hitam yang mendatanginya. Walaupun belum waktunya, Papa
tak bisa menahan keinginan Mama untuk pulang.
Saya pergi saat Mama masih bisa
tersenyum. Namun saat saya tiba di rumah, tak ada senyum lagi menghiasi wajahnya. Ia kesakitan.
Banyak sariawan di mulutnya. Makan tak bisa, minum pun hanya seteguk. Saya
dan kakak-kakak terus membujuknya, namun bujukan kami lebih benyak gagal. Kami
selalu menyemangatinya untuk sembuh, untuk keluar dari bayang-bayang sakitnya.
Namun, saya malah tidak bisa membuat diri saya sendiri bersemangat. Saya tidak
kuat melihatnya begitu rapuh.
Mama tidak bisa bangun dari
tempat tidur. Saya membersihkan kotorannya, menyeka tubuhnya.
Tapi tak bisa setiap saat. Walaupun sudah izin beberapa hari dari kantor, saya tetap
harus kembali bekerja. Ah, rasanya seperti anak durhaka…
Meskipun kami – saya dan
kakak-kakak – tidak bisa ada di sampingnya setiap saat, Papa selalu setia di
rumah menemaninya. Di balik diamnya, Papa pasti juga merasa sedih tapi Papa
pandai menutupinya.
Ada lagi satu benda yang setia
bersama Mama. Di bawah tempat tidurnya ember hitam itu selalu menemaninya.
Sewaktu-waktu Mama bisa memuntahkan apa yang dimakan atau hanya ludah yang
lumayan banyak. Rasanya pasti mual sekali, ya, Ma!
Kekuatan
Allah memang Maha Baik! Ketika
saya seperti putus harapan, kondisi Mama mulai membaik. Ia mau mulai makan
sedikit demi sedikit. Semangatnya untuk hidup seperti kembali meletup. Ia akan
melawan penyakitnya itu!
Doa dan harapan memang
menguatkan. Saya harus percaya itu. Melihat kondisi Mama mulai stabil, ada
kebahagiaan di dalam rumah ini yang selama beberapa bulan seperti terampas.
Mama kembali menjalani
kemoterapinya hingga yang keenam kali. Setelah itu dilanjukan dengan proses
penyinaran selama 30 hari tanpa jeda! Jarak dari rumah ke rumah sakit tersebut
amatlah jauh, tapi Mama tidak putus asa. Ia jalani itu dengan segala kekuatan
yang masih ada di dirinya.
Selepas disinar, Mama harus
mengkonsumsi obat selama lima tahun setiap harinya! Selain itu, ia pun harus
selalu kontrol ke dokter sebulan sekali. Semua saran dokter selalu
didengar. Obat yang wajib diminum selalu diminumnya tanpa pernah lupa. Jika
saya adalah dokter Mama, saya akan memberikan predikat pasien paling penurut
padanya.
Saya pun percaya yang bisa
menyembuhkan Mama adalah dirinya sendiri, semangatnya sendiri yang ingin terus
tetap hidup! Ia ingin hidup lebih lama bersama keluarganya. Ia ingin lebih
punya waktu beribadah menghadap-Nya.
Mei 2016
Enam tahun lalu Mama divonis
kanker payudara. Payudara sebelah kirinya harus dimasektomi. Awalnya rasa
kecewa, sedih, putus asa menggelayutinya. Betapa tidak, “hartanya” sebagai
perempuan hilang begitu saja. Jiwanya mungkin tergoncang karena vonis itu. Dirinya
kerap emosi jika ada sesuatu yang salah dimatanya. Dan hal itu sering terjadi.
Mama menjadi sosok pemarah yang meledak-ledak!
Tapi itu enam tahun lalu! Kini,
saya melihat Mama yang berbeda. Bahkan lebih baik dari sebelum ia divonis
kanker payudara.
Mama sekarang semakin aktif. Ia
seperti tidak kenal rasa capek. Setiap saya mengunjunginya tiap akhir pekan,
pasti ada saja yang dikerjakannya untuk memajukan usaha jahit dan bordirnya.
Mama sekarang semakin banyak
teman. Ia bergabung dengan kelompok Usaha Kecil Menengah (UKM) dan wanita
pengusaha di kota saya. Banyak sekali kegiatan positif yang diikutinya. Mama juga
masih berhubungan sangat baik dengan teman-temannya yang lain yang dari dulu
selalu dekat dengannya (dan jumlahnya sangat banyak!).
Mama sekarang masih saja berani
menyetir mobil sendirian ke pasar, ke toko kain, sampai ke rumah besan untuk
menengok cucu-cucunya sambil membawa pisang, donat atau biskuit. Selepas
operasi, Mama perlu waktu tiga tahun lebih untuk tidak memegang kemudi. Setelah
itu keberaniannya untuk menyetir kembali menggelora.
Mama sekarang semakin banyak
traveling. Ya, ada saja alasannya untuk jalan-jalan ke luar kota. Menengok
temannya yang sedang sakit, mengunjungi makanm orang tuanya, mengantar adiknya,
dan macam-macam lagi. Suatu kali, ia pun mengajak kami sekeluarga bersama
cucu-cucunya yang masih kecil jalan-jalan ke luar kota. Menyenangkan!
Mama sekarang menjadi orang yang lebih tenang secara spiritual. Adakah yang
lebih indah daripada beribadah dan curhat kepada-Nya?
Mama sekarang semakin
memikirkan orang-orang di sekitarnya. Jika membeli sesuatu, pasti ada saja
barang unuk diberikannya pada orang lain. Bahkan ia sendiri tidak membeli
apa-apa untuk dirinya sendiri.
Mama sekarang sudah jarang
marah meskipun
ada saja masalah yang datang bertubi-tubi. Mama pun menjadi orang yang lebih
pemaaf meskipun terkadang emosinya masih suka dikeluarkan tapi tidak sedahsyat dulu.
Saya melihat Mama menjadi sosok yang lebih baik, lebih positif dan itu sangat berarti bagi kami...
Sehat selalu, ya, Ma. Kami semua sayang Mama...
Anakmu,
Dita
Semoga mamanya sehat selalu ya mbak :) terharu juga bacanya dan senang, bahwa jalan kesembuhan itu milik semua orang yang mau berprasangka baik kepadaNya :)
BalasHapusOmnduut.com
Terima kasih banyak doanya om Yan... Iya kalo sakit memang harus selalu berpikir positif, sulit sih tapi bisa kok yaa.. :)
HapusNyokap lo juara, Ta.
BalasHapus*lap ingus*
Bikin tulisan ini berat banget fii mata gw.. nangis mulu.. :') Thanks ya Fii...
Hapus